Strategi Nyata Memulai Bisnis F&B dari Nol Hingga Berkembang
polabisnis.info - Memulai bisnis F&B bukan sekadar urusan rasa atau tren kuliner. Di balik kesuksesan sebuah kedai kopi, warung makan, atau brand minuman kekinian, ada proses panjang yang seringkali tidak terlihat. Banyak orang tertarik masuk ke sektor ini karena melihat potensi pasar yang besar dan dinamis. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki persiapan matang dan strategi berbasis pengalaman yang mampu bertahan dan berkembang.
Memulai dari Skala Kecil: Belajar Langsung dari Lapangan
Saya memulai bisnis F&B pada tahun 2019. Dengan modal hanya Rp8 juta, saya membuka booth kopi kecil di area coworking space yang ramai di Jakarta Selatan. Saya tidak langsung memfokuskan diri pada branding atau desain interior yang mewah. Sebaliknya, tiga bulan pertama saya gunakan sepenuhnya untuk mengamati, mencatat, dan bertanya langsung pada pelanggan tentang apa yang mereka suka.
Ternyata, lebih dari 60% pelanggan lebih memilih kopi blend lokal dibandingkan kopi import. Dari situlah saya belajar bahwa intuisi pribadi belum tentu selaras dengan preferensi pasar. Saya ubah menu, pangkas varian yang tidak laku, dan menyederhanakan pilihan agar proses penyajian lebih cepat. Ini adalah bentuk pembelajaran langsung yang tidak bisa ditemukan hanya dari membaca teori bisnis.
Menyusun Sistem Operasional yang Fleksibel
Banyak pemula tergoda membangun bisnis F&B seperti membuka restoran besar dengan sistem kaku. Pengalaman saya justru menunjukkan pentingnya sistem yang fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi harian. Misalnya, di awal saya tidak punya sistem pemesanan digital. Tapi karena banyak pelanggan yang repeat order melalui WhatsApp, saya akhirnya mengembangkan alur pemesanan sendiri yang berbasis Google Form terintegrasi dengan notifikasi WhatsApp Business.
Langkah ini bukan hanya efisien, tapi juga menunjukkan pada pelanggan bahwa saya mendengarkan mereka. Sistem operasional sederhana yang dikembangkan dari pengalaman harian jauh lebih relevan dan mudah dipraktikkan ketimbang meniru sistem besar milik franchise.
Riset dan Validasi Menu: Kunci Bertahan di Tengah Tren
Salah satu kesalahan umum pelaku bisnis F&B pemula adalah terlalu cepat mengikuti tren. Minuman boba, kopi gula aren, hingga croffle datang silih berganti. Namun, tidak semua tren cocok untuk pasar lokal. Saya melakukan pendekatan berbeda: setiap kali ada tren baru, saya lakukan uji coba terbatas. Saya buat 50 sample menu baru dan berikan kepada pelanggan tetap untuk mereka nilai.
Dari situ saya bisa menyaring mana tren yang layak dikembangkan dan mana yang sebaiknya diabaikan. Proses validasi ini menghindarkan saya dari pemborosan modal dan bahan baku. Ini juga menunjukkan bahwa membangun bisnis F&B tidak selalu harus ikut arus, tapi lebih pada memahami karakter pelanggan yang dilayani.
Bangun Brand dengan Cerita, Bukan Hanya Logo
Satu hal penting yang saya pelajari: orang lebih tertarik dengan cerita di balik bisnis daripada sekadar logo atau slogan. Saya mulai membagikan cerita tentang bagaimana awal mula bisnis ini lahir, kegagalan pertama kali menyeduh kopi, hingga tantangan saat pandemi. Cerita-cerita ini saya dokumentasikan dalam media sosial dan blog.
Hasilnya mengejutkan. Engagement meningkat drastis dan pelanggan mulai merasa memiliki kedekatan emosional dengan brand saya. Mereka bukan hanya membeli produk, tapi merasa menjadi bagian dari perjalanan saya. Ini menciptakan loyalitas yang kuat dan berbeda dari sekadar strategi diskon atau promo musiman.
Mengelola Keuangan dan Menjaga Arus Kas Sehat
Bisnis F&B sangat rentan terhadap fluktuasi harian. Pendapatan bisa tinggi di akhir pekan dan turun drastis di awal pekan. Karena itu, saya belajar pentingnya mencatat semua transaksi, baik pembelian bahan baku maupun pengeluaran kecil seperti plastik kemasan. Saya menggunakan aplikasi kasir sederhana dan spreadsheet yang saya susun sendiri.
Langkah kecil ini membantu saya melihat pola pengeluaran dan menyesuaikan strategi pembelian bahan baku agar tidak boros. Selain itu, saya menyisihkan 15% dari pendapatan harian sebagai dana darurat operasional. Ini menyelamatkan bisnis saya saat pandemi datang tiba-tiba dan omzet turun 70%.
Fokus pada Value, Bukan Hanya Harga
Banyak yang mencoba bersaing di sektor F&B dengan menurunkan harga. Tapi saya belajar bahwa pelanggan lebih peduli pada value—apa yang mereka dapatkan dari produk dan layanan saya. Saya tidak pernah jadi yang termurah, tapi saya pastikan kualitas rasa, kecepatan layanan, dan kenyamanan pelanggan selalu jadi prioritas.
Misalnya, saya menyediakan tempat mencuci tangan dan koneksi Wi-Fi gratis bahkan saat masih beroperasi di booth. Hal-hal kecil seperti ini membuat pelanggan merasa dihargai dan mereka kembali dengan sukarela tanpa harus saya “rayu” dengan diskon besar.
Belajar dari Komunitas dan Praktisi
Selama perjalanan membangun bisnis ini, saya aktif mengikuti diskusi komunitas, menghadiri workshop, dan bertukar pengalaman dengan sesama pelaku F&B. Dari sana saya mendapatkan banyak wawasan tentang supplier terpercaya, cara negosiasi sewa tempat, hingga strategi menghadapi pegawai yang kurang produktif.
Salah satu mentor saya bahkan memberikan saran yang sangat berharga: “Jangan kejar viral, kejar repeat order.” Kalimat itu terus saya pegang sampai sekarang.
Kenapa Banyak Bisnis F&B Gagal?
Ada banyak alasan mengapa bisnis F&B gagal dalam 1–2 tahun pertama. Beberapa di antaranya:
-
Tidak memahami target pasar secara mendalam
-
Terlalu cepat ekspansi tanpa pondasi sistem
-
Mengabaikan pencatatan keuangan
-
Fokus pada tampilan luar tapi tidak pada kualitas produk
-
Tidak punya diferensiasi yang jelas
Saya sendiri pernah hampir tutup karena salah mengambil keputusan lokasi cabang kedua. Namun karena punya catatan data dan sistem yang sudah berjalan, saya bisa pivot dengan cepat.
Bisnis F&B Adalah Tentang Konsistensi dan Adaptasi
Perlu diingat bahwa bisnis F&B adalah sebuah proses berkelanjutan. Tidak ada rumus instan yang menjamin sukses. Namun, pengalaman nyata, kejelian membaca pasar, dan kemampuan beradaptasi bisa menjadi pembeda antara yang bertahan dan yang tenggelam dalam persaingan.
Memulai bisnis ini bukan soal siapa yang paling cepat viral, tapi siapa yang paling konsisten memberikan kualitas, pengalaman, dan pelayanan terbaik. Itulah nilai yang saya bawa hingga hari ini, dan menjadi pondasi dalam setiap langkah pengembangan usaha saya ke depan.
Comments
Post a Comment